Senin, 21 November 2011

PERMASALAHAN UJIAN NASIONAL


A.        UJIAN NASIONAL
Ujian Nasional (UN) merupakan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Berbagai polemik yang berkepanjangan mengenai Ujian Nasional di Indonesia tampak baik bagi demokrasi di negeri ini. Tapi satu hal yang jangan terlupa bahwa siswa peserta UN jangan sampai dibuat ragu atau takut tentang kepastian Ujian Nasional sebagai sarana untuk mengukur kemampuan mereka di bangku sekolahnya

B.        KASUS PERJOKIAN UJIAN NASIONAL
Para pelaku joki ujian nasional (Unas) yang tertangkap di Bojonegoro sudah diamankan dan saat ini telah diproses di kepolisian. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh menyatakan, pihak SMPN I Kecamatan Kedewan, Bojonegoro, Jatim, harus bertanggung jawab atas ulah yang mencoreng pelaksanaan Unas 2011 ini.
“Ini joki yang ditangkap masuk di kelas. Itu yang paling bertanggung jawab adalah si sekolahnya. Oleh karena itu sekarang sedang diproses oleh kepolisian,” terang Nuh saat ditemui usai acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (28/4).
Mantan Menkominfo ini menegaskan, kasus tertangkapnya joki ini bukanlah kasus kebocoran soal Unas. Melainkan, ada oknum yang menggantikan posisi peserta Unas yang berada di dalam ruang ujian. “Nah, ketahuan lah itu kalau ternyata orang itu bukan siswa peserta Unas yang sekolah di situ,” paparnya.
Menurutnya, yang terpenting saat ini adalah mekanisme penanganan pada kasus pelanggarannya.
Lantas bagaimana dengan para pelanggar Unas di tahun lalu? Nuh mengatakan, para pelanggar Unas tahun lalu sudah ditindak . Dia memberi contoh kasus pelanggaran Unas tahun lalu di Medan. “Dimana ada beberapa sekolah yang ketahuan membocorkan soal dan kemudian dilakukan ujian ulang. Sementara Kepsek , Kepala dinas pendidikan yang terkait juga sudah ditindak,” jelasnya.
Seperti diberitakan, enam joki ujian nasional (UN) telah ditangkap di SMPN I Kecamatan Kedewan, Bojonegoro, Jatim. Keenam joki dalam Unas itu yakni Darto (20), Hono (17), Habib (16), Mustofa (20) dan Edy (16), semuanya warga Desa Mleboh, Kecamatan Jiken, Blora, Jateng. Satu joki lagi, Hadi (19), warga Desa Beji, Kecamatan Kedewan.
Berdasarkan pengakuan Kepala Sekolah SMP PGRI Kecamatan Kedewan, Drs Moelyono, inisiatif mencari joki tersebut karena mendapatkan pesanan enam siswa tersebut yang tidak bisa mengikuti UN karena bekerja.
Keenamnya mendapat imbalan Rp 50 ribu/hari dan Fajri mendapatkan imbalan Rp 10 ribu/joki. Dalam kasus ini, keenam joki, pencari joki, juga kepala sekolah, dijerat dengan pasal 263 ayat I KUHP tentang pemalsuan yang ancaman hukumannya enam tahun penjara.

C.       KECURANGAN UJIAN NASIONAL 2011
Seperti tahun-tahun sebelumnya, bulan Maret dan April adalah hari-hari yang sangat menyibukkan, mendebarkan bahkan menakutkan bagi setiap siswa (anak didik) di penjuru tanah air.
Kenapa tidak, pada bulan-bulan itu masa depan mereka ditentukan. Anak didik baik jenjang SD, SMP, dan SMA akan menghadapi Ujian Sekolah (US), Ujian Nasional (UN), dan (bagi sebagian) akan menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Khusus UN kendati mendapat penolakan baik dari anak didik, orangtua dan para pengamat pendidikan tetap diberlakukan walau formula dan mekanisme pelaksanaannya berubah dari tahun ke tahun.
Selama ini, UN pun dinilai sebagai momok paling menakutkan. Berbagai alasan menjadi dasar yang dijadikan sebagai batu pijakannya. Pertama, nilai UN telah dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya proses belajar seorang anak didik hanya ditentukan dalam masa 3 hari pelaksanaan UN tanpa mempertimbangkan aspek moral dan prestasi belajar anak didik selama mengikuti proses belajar mengajar (PBM) di sekolah. Hal ini juga telah mendegradasi otoritas guru sebagai pendidik sekaligus pihak yang mengetahui dan mengerti keadaan siswa yang dididiknya.
Kedua, UN dilaksanakan di saat kualitas pendidikan di tanah air belum merata. Hal ini tentu dipengaruhi oleh kesenjangan sarana dan prasarana pendidikan antardaerah. Anehnya, pemerintah (dalam hal ini Mendiknas) justru membuat standar penilaian yang sama di semua daerah tersebut. Ketiga, kecurangan-kecurangan di setiap pelaksanaan UN telah menjadi rahasia umum yang tak mampu diselesaikan dari tahun ke tahun. Hal ini terjdi karena belum adanya sinergi yang baik antara Kemendiknas sebagai pelaksana dengan panitia ujian serta tim pemantau independen sebagai pengawas pelaksanaan UN. Dengan berbagai praktik kecurangan yang sering terjadi seperti kebocoran soal, perjokian, dan pembagian kunci jawaban, lalu masih pantaskah UN dijadikan sebagai satu-satunya dasar penentu kelulusan anak didik?
Win-win Solution
Sebagai jawaban atas berbagai protes dan penolakan UN, akhirnya pemerintah men cari jalan keluar dengan cara mengubah formulasi kelulusan siswa. Dengan keluarnya Peraturan Mendiknas Nomor 45 Tahun 2010 tentang Kriteria Kelulusan Peserta Didik pada SMP, SMA dan yang Sederajat menetapkan nilai akhir yang menentukan kelulusan siswa dihitung dari 60 persen nilai UN ditambah dengan 40 persen nilai sekolah.
Ada unsur baru dalam formula tersebut, dimana nilai sekolah yang dihitung dengan berdasarkan pada kombinasi antara nilai rata-rata rapor semester dan ujian sekolah. Sehingga jika dirumuskan, maka formulasi kelulusan Ujian nasional pada 2011 adalah: NA (Nilai Akhir) = 0,60 UN (Ujian Nasional) + 0,40 NS (Nilai Sekolah). Sedangkan rumusan untuk mendapatkan NS (Nilai Sekolah) adalah: 0,60 US (Ujian Sekolah) + 0,40 RP (nilai rata-rata semester 3, 4 dan 5 untuk tingkat SMA/SMK/Sederajat atau nilai rata-rata semester 1, 2, 3, 4 dan 5 untuk tingkat SMP/Sederajat.
Formula baru ini dianggap sebagai jalan keluar dan win-win solution serta lebih manusiawi karena tidak semata-mata menjadikan UN sebagai standar kelulusan. Artinya, dengan diadopsinya Nilai Sekolah (NS) sebagai penentu kelulusan, peran sekolah (dalam hal ini Guru Didik) sebagai pihak yang paling mengetahui dan mengerti kondisi anak didiknya selama proses belajar-mengajar sudah terakomodasi.
Ada dua hal yang menjadi alasan yakni pertama, hal ini berkaitan dengan tingkat kesulitan soal Ujian Sekolah yang akan diujikan dan cara penilaian guru atas hasil Ujian Sekolah anak didik yang bersangkutan. Kedua, nilai rapor yang didapatkan anak didik setiap semester sebelumnya yang juga sudah dijadikan sebagai penentu kelulusan tentu telah didasarkan pada penilaian objektif terhadap prestasi akademik anak didik. Jadi usaha dan capaian anak didik selama ini tidak dianggap sia-sia. Begitu juga dengan penilaian tentang aspek moral yang tentu masuk di dalam penentuan nilai rapor anak didik. Jadi, penilaian terhadap lulus atau tidak seorang anak didik telah didasarkan secara komprehensif pada keseluruhan aspek yang dimiliki anak didik tersebut.
Namun, formula baru kriteria penilaian dan penentu kelulusan ini bukannya tanpa kelemahan. Dengan memberikan otoritas pada sekolah untuk menentukan 40 persen kelulusan anak didik akan berpotensi dalam terjadinya kecurangan-kecurangan gaya baru di dunia pendidikan kita. Kecurangan-kecurangan yang mungkin terjadi misalnya, pertama, adanya upaya untuk memperbaiki atau mengangkat nilai rapor untuk mendongkrak nilai akhir jika nilai UN anak didik jeblok. Potensi kecurangan ini bisa saja dilakukan pihak sekolah demi memperbaiki persentase tingkat kelulusan anak didik di sekolahnya yang telah menjadi salah satu ukuran berkualitas atau tidaknya sekolah yang bersangkutan. Potensi kecurangan seperti ini sesungguhnya telah lama terjadi dengan tujuan yang lain. Misalnya ketika akan mencalonkan anak didik untuk Jalur Panduan Minat dan Prestasi (PMP) atau dalam ungkapan lain disebut dengan Jalur Bebas Testing yang disediakan oleh berbagai PTN dimana kriteria utamanya adalah nilai rapor anak didik yang dicalonkan.
Kedua, kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Sekolah (US) akan lebih mudah terjadi dibandingkan dengan pelaksanaan UN seperti kebocoran soal dan kunci jawaban. Kecurangan-kecurangan tersebut bahkan berpotensi besar terkait kualitas pelaksanaan terutama tingkat pengawasan yang cenderung lebih rendah dari UN. Dengan kata lain, formula yang seperti ini akan membuka ladang kolusi baru bagi pihak terkait (guru, anak didik, dan orangtua).

D.       SANKSI TERHADAP KECURANGAN UN
Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) tidak bosan-bosan mengajak siswa, guru, dan pejabat terkait untuk jujur dalam pelaksanaan ujian nasional (UN). Meskipun kecurangan sulit dideteksi, Kemendiknas tetap yakin ancaman sanksi bisa membuat semua yang terkait lebih jujur. Ancaman sanksi tahun ini adalah nilai siswa yang curang akan dihapus.
Ancaman tersebut disampaikan langsung Mendiknas Mohammad Nuh. Dia menjelaskan, tahun ini pihaknya memiliki sistem baru untuk mendeteksi kecurangan pengerjaan UN. Setiap lembar jawaban siswa memiliki kode rahasia. Kode tersebut hanya diketahui Kemendiknas, percetakan, dan pengawas.
Dengan kode rahasia tersebut, pelaksana UN bisa mengetahui langsung siswa yang melakukan kecurangan. ’’Semua harus mengikuti tema UN tahun ini; prestasi yes, jujur harus,’’ tandas mantan Menkominfo itu.
Selain mewanti-wanti siswa supaya mengerjakan soal dengan jujur, Kemendiknas masih mencium potensi pihak sekolah yang mendongkrak nilai UN siswanya. Tujuannya satu, mencapai angka kelulusan 100 persen.
Untuk kasus itu, Nuh mengatakan bahwa pihak sekolah yang curang akan mendapatkan sanksi administratif. Yaitu, Kemendiknas tidak menerima nilai ujian sekolah. Sebagimana diketahui, ketentuan kelulusan diambil dari dua aspek. Pertama, dari nilai ujian nasional sebesar 60 persen dan yang kedua dari nilai ujian sekolah sebesar 40 persen. ’’Jika sekolah nakal, persentase ujian sekolah kami hapus. Jadi murni kelulusan dari nilai UN saja,’’ tegas mantan rektor ITS tersebut. Jika nilai ujian sekolah yang diambil berdasar rapor dihapus, otomatis siswa berharap penuh kepada hasil UN.
Kepada wali murid yang anaknya menjalani UN, Nuh mengingatkan agar tidak terpengaruh isu jual beli bocoran naskah soal. Dia mengatakan, selama ini banyak sekali modus yang digunakan penipu untuk mencari duit menjelang detik-detik akhir pelaksanaan UN. Nuh mencontohkan, ada penipu yang mengatakan bahwa lembar soal yang dijualnya 50 persen persis dengan naskah UN. Harga yang dipatok bisa sampai Rp1 juta.
Ada juga yang memasang iming-iming bahwa akurasi naskah soal yang mereka jual itu adalah 75 persen bahkan 100 persen. ’’Semua itu bohong. Kalau dipercaya, risikonya besar,’’ sebut Nuh.
Risiko muncul karena siswa bisa jadi ogah belajar karena merasa sudah memegang duplikat lembar soal UN. Padahal, lembar duplikat tersebut bohongan.
Pintu kebocoran naskah soal UN yang lain diduga muncul dari lembaga bimbingan belajar. Untuk menarik peminat, biasanya lembaga bimbingan belajar melobi percetakan untuk mendapatkan lembar soal UN. Untuk kasus itu, Nuh menegaskan bahwa tahun ini hal itu tidak akan terjadi. Nuh mengatakan, pihaknya mulai memberikan penyuluhan kepada lembaga bimbingan belajar untuk memperkaya kisi-kisi latihan UN. ’’Kalau kisi-kisi, itu kan tidak masalah,’’ kata dia. Misalnya untuk pelajaran matematika, kisi-kisi soalnya tentang persamaan kuadrat atau lainnya.
Sebagaimana diberitakan, UN 2011 untuk tingkat SMA dan sederajat digelar Senin depan 18 April. Pekan ini tahap percetakan naskah UN sudah rampung. Dari beberapa inspeksi mendadak (sidak), Kemendiknas yakin kebocoran sudah bisa diatasi. Pencetakan naskah UN yang menelan anggaran Rp500 miliar dianggap sudah sesuai SOP (standard operational program). Selanjutnya tinggal proses distribusi.

E.        MENDONGKRAK NILAI SALAH SATU TINDAK KECURANGAN
Kelulusan siswa SMA/SMK sederajat mulai tahun ini merupakan gabungan dari nilai ujian nasional dan ujian sekolah dengan perbandingan bobot 60:40. Jika ada tindakan curang dengan mendongkrak nilai ujian sekolah, maka sekolah yang melakukan hal tersebut akan dikenai sanksi.
Jika ada soal yang bocor, hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus.
– Mohammad Nuh
“Nilai ujian sekolah bisa dihapus (nol) dan sekolah yang bersangkutan masuk daftar hitam,” kata Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh seusai melakukan inspeksi mendadak ke Percetakan Balai Pustaka, Sabtu (9/4/2011) di Pulo Gadung, Jakarta.
Selain melihat hasil ujian nasional (UN), kelulusan siswa mulai tahun ini juga diberikan dengan memerhatikan nilai ujian sekolah serta nilai rata-rata rapor semester III, IV, dan V.
Titik rawan
Nuh mengatakan, percetakan merupakan salah satu titik rawan kebocoran soal UN. Untuk mengantisipasi kemungkinan hal itu, pada setiap soal telah dibubuhkan kode khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu dari Kementerian Pendidikan Nasional, pengawas, dan percetakan.
“Jika ada soal yang bocor, maka hal itu mudah ditelusuri karena ada kode khusus. Bisa diketahui pula soal yang ‘bocor’ itu soal asli atau bukan. Yang penting masyarakat jangan terjebak spekulasi bahwa ada soal bocor,” kata Nuh.
Selain antisipasi kebocoran soal, juga dilakukan antisipasi terhadap kecurangan melalui lima tipe soal dengan tingkat kesulitan sama. Dari 20 siswa dalam satu ruang kelas, hanya akan ada empat siswa yang mengerjakan soal yang sama.
“Ini untuk meningkatkan kredibilitas UN semata. Teknis pengaturan soal random,” kata Nuh.

F.        SOLUSI
Peningkatan kualitas pendidikan sejalan dengan peningkatan mutu anak didik yang menjadi sumber daya dalam memajukan bangsa ini ke depan. Peningkatan kualitas tentu harus dilaksanakan dengan prinsip-prinsip kejujuran, profesionalitas serta meminimalisir potensi-potensi kecurangan terutama dalam penentuan nilai akhir dan kelulusan anak didik. Rata-rata Nilai Akhir (NA) minimum 5, 5 dan tidak ada nilai mata pelajaran di bawah 4, 0 sebagai syarat kelulusan sepertinya bukan sesuatu kriteria yang berlebihan.
Oleh karena itu, sedapat mungkin harus diminimalisir berbagai kecurangan dengan cara sebagai berikut: pertama, pelaksanaan pengawasan Ujian Sekolah di suatu sekolah lebih ditingkatkan termasuk dengan cara mendatangkan pengawas dari luar atau sekolah lain untuk menjamin objektivitas pelaksanaan ujian. Hal ini bisa juga dilaksankan dengan pemberlakuan tim pemantau independen yang sayangnya justru akan ditiadakan dalam pelaksanaan UN 2011.
Kedua, membuat standarisasi soal Ujian Sekolah agar tidak dibuat semena-mena oleh pihak sekolah. Ketiga, melakukan pemantauan, pengawasan administrasi nilai rapor untuk mencegah pengangkatan nilai rapor anak didik.

1 komentar: